Minggu, 26 April 2015

Negeri Para Robot

Negeri Para Robot

“…mereka tak punyai hati nurani sebab mereka semua robot”
Sudah kurang-lebih 8 jam lamanya kami berada di atas awan. Di dalam sebuah pesawat komersil milik perusahaan penerbangan negeri kami. Tujuan kami adalah negeri yang menurut guru-guru kami, serta dari sumber-sumber lain katakan: “Negeri yang dimuliakan Tuhan. Negeri yang diciptakan Tuhan dari material pembuat surga. Negeri yang dahulu menjadi induk peradaban dunia.” Entahlah. Kami merasa itu sangat berlebihan. Hanya sebuah khayalan belaka. Dan khayalan bagiku tak ubahnya seperti keyakinan yang semu, aneh, seperti bayangan diri di dalam air yang sampai mati pun takkan pernah bisa disentuh. Terlebih lagi kami belum tahu seperti apa negeri tersebut. Kami harus membuktikan nyanyian-nyanyian indah tentang negeri itu. Maka aku beserta temanku, Dorsin, memutuskan untuk menghabiskan liburan kami berplesir ke “Negeri yang dimuliakan Tuhan” tersebut.
Akhirnya setelah 12 jam perjalanan udara, kami tiba juga di negeri tersebut. Tapi aneh, semua orang disini bukan manusia, melainkan robot. Kami terheran-heran melihat sekeliling kami. Pakaian yang mereka kenakan sama seperti kami, manusia. Bentuk tubuhnya pun tak berbeda dengan kami. Mereka punya kepala, kedua belah mata, telinga, kedua tangan dan kaki dan kesemuanya nyaris tiada beda barang sedikit pun dengan manusia aslimya. Namun dari ujung kepala sampai ujung kaki mereka adalah besi baja. “Taksi tuan?” tiba-tiba seorang sopir taksi menawarkan jasa. Tak berbeda dengan yang lainnya, sopir taksi itu pun sebuah robot. Lalu kami pun memutuskan untuk menaiki taksi tersebut. “Tujuan kita kemana, tuan?” sopir taksi itu bertanya. “Antarkan kami ke hotel terdekat, pak.” jawab Dorsin.
Sesampainya di hotel, kami pun lantas memesan sebuah kamar. Lagi-lagi, penerima tamu hotel itu pun adalah robot. Begitu pula yang menginap disini pun kesemuanya robot. Hanya ada satu-dua saja yang bentuknya sama seperti kami, manusia. Kemudian diantarnya kami menuju kamar yang dipesan. Kamar nomor 226. Sebuah robot mengantar kami, membukakan pintu kamar, seraya berkata “Jika tuan-tuan butuh bantuan, jangan sungkan hubungi saya saja, ya. Di atas meja kecil samping sofa di pojok sana ada sebuah pesawat telephon. Tinggal tuan-tuan pijit tombol merah yang ada di pesawat telephon itu untuk meminta bantuan saya. Selamat beristirahat, tuan-tuan”.
Aku merebahkan diri di atas kasur melepas kelelehan. Tak habis pikirku membayangkan bagaimana sebuah negeri yang dijuluki “Negeri yang dimuliakan Tuhan” ternyata semua penduduknya robot. Lantas, bakal jadi seperti apa negeri ini kalau semuamya diolah tanpa campur tangan hati nurani?
“Kamu lapar, Sin?”
“Teramat sangat. Mari kita pesan makanan.”
Ada banyak menu makanan dan minuman disini. Ratusan bahkan ribuan menu dari hampir semua negara di dunia tersedia. Aku pun sampai-sampai tak sanggup membaca semua daftar menu yang tertulis di dalam sebuah monitor berukuran 21 inch yang letaknya tepat di atas lemari pendingin dan menempel pada dinding kamar. Dorsin lalu menghubungi pelayan yang tadi mengantar kami menuju kamar melalui telephon. Dia memutuskan untuk memesan Chiffon Mousse sementara aku berniat memesan menu makanan khas negeri ini. Namun betapa kagetnya aku mendengar pelayan itu berkata “Menu yang anda pesan tidak tersedia disini, tuan. Bahkan bukan hanya di hotel kami, di seluruh pelosok negeri pun sudah tidak dapat dijumpai lagi menu khas negeri kami. Menu-menu makanan tersebut dianggap kuno. Ketinggalan zaman, Tuan. Bagaimana dengan Borju Paprika’s? Itu menu andalan disini, tuan.”
Dengan terpaksa aku pun menerima tawaran menu dari pelayan tersebut.
30 menit berselang dan pesanan kami pun tiba. Kami menyilakan pelayan tersebut untuk masuk. Sebelum pelayan itu meminta diri untuk meninggalkan kamar, aku mencoba untuk bertanya “Mengapa di negeri ini semua penduduknya robot?”. Pelayan itu hanya tersenyum ramah. Kemudian berlalu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Dasar robot..” geramku.
Hari-hari kami di negeri ini dihabiskan untuk berkeliling negeri. Melihat kondisi alam berserta kondisi masyarakatnya. Banyak bangunan-bangunan pencakar langit tinggi menjulang mencengkeram angkasa. Namun di suatu sudut negeri terlihat rumah-rumah berbadan triplek kayu berjejer di pinggiran sungai yang tidak bisa dikatakan bersih. Terkesan kotor. Sangat kotor. Seolah ingin muntah kami melihatnya. Kami meneruskan perjalanan menuju sebuah perkampungan. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari. Selokan-selokan pada mampet. Hitam pekat dan berbau sangat menyengat. Busuk. Benang-benang layangan banyak terlilit pada kabel-kabel listrik. Beberapa terlihat sedang bermain kartu. Di suatu sudut kampung sebuah robot tengah tengah sibuk dengan burung piaraannya.
Dari kejauhan kulihat seseorang tengah duduk di pelataran rumahnya. Aku seperti mengenal sosok tersebut. Kami pun mencoba mendekati. Dan benar saja dugaanku. Ialah pelayan hotel tempat kami menginap. “Eh, tuan-tuan. Sedang apa kiranya disini? Mari masuk. Kita minum teh.” ujarnya menyilakan kami masuk ke dalam rumahnya yang sangat kecil dan kumuh. Aneh, pikirku. Mana ada robot suka meminum teh. Robot hanyalah sebuah tumpukan besi yang memerlukan baterai untuk bergerak. Dan lagi, mengapa robot itu begitu ramah dan baik?
“Silakan duduk, tuan-tuan. Tak usah merasa sungkan. Anggap saja rumah sendiri. Tetapi, beribu maaf, tuan, beginilah adanya tempat tinggal saya. Tak punya cukup uang saya untuk membeli hunian yang lebih layak.”
“Kalau boleh saya tahu, ada apa gerangan tuan-tuan ke kampung ini?” tanyanya mencoba memulai obrolan.
“Kami hanya ingin jalan-jalan saja menikmati keindahan negeri ini saja. Banyak yang bilang negeri ini sangat indah, makanya kami penasaran ingin tahu kebenarannya” jawabku
“Tidak ada pemandangan indah yang bisa dinikmati di negeri kami ini, tuan. Semua hanya kepiluan semata. Robot tidak pernah mengerti arti keindahan. Robot hanya bertindak dan melakukan sesuatu sesuai keinginan penciptanya saja, tuan.”
“Memang siapa penciptanya?” tanyaku
“Ada, tuan. Di suatu tempat nan jauh beribu kilometer disana. “Negeri Pencipta” namanya. Para penduduknya menyebut negerinya adidaya. Negeri paling superior. Seluruh dunia diatur oleh negeri itu, tuan.” jawabnya getir
“Lalu, kenapa anda terlihat berbeda dengan robot-robot yang lain?” tanya Dorsin berkobar-kobar lantaran rasa penasaran.
“Begini, tuan. Saya memang diciptakan berbeda dari yang lain karena saya diberi hati oleh pencipta saya. Pencipta saya sangat sedih melihat kondisi negeri ini. Maka dibuatkanlah saya ini, tuan. Robot berhati. Raga saya memang robot, tapi jiwa saya adalah manusia. Sama seperti tuan-tuan”
“Mengapa hanya anda saja yang diberi hati oleh pencipta anda?” tanyaku bersungguh-sungguh.
“Tujuannya tak lain agar kelak dunia mengetahui bahwa di negeri ini ada robot yang mempunya jiwa manusia. Ada jiwa yang peduli arti penting kesadaran akan sesama makhluk hidup. Baik terhadap alam maupun terhadap masyarakat sekitar.”
Mataku berkaca-kaca mendengar ceritanya. Batinku teriris. Sedih dan haru bersatu padu memenuhi sendi-sendi batinku.
“Di negeri ini, tuan. Semua-muanya dikerjakan atas nama uang. Uang adalah Tuhan bagi penduduk negeri kami dan negeri pencipta kami, tuan.”
“Lihat saja betapa banyak bangunan-bangunan tinggi menjulang yang jumlahnya ribuan. Jalanan-jalanan besar dibuat sebagai akses untuk mempermudah distribusi barang dan jasa. Sekolah-sekolah tinggi didirikan. Hasil alam mereka keruk tanpa memikirkan akibat dari kerusakannya. Semuanya ditujukan tak lain hanya untuk kepentingan uang dan kekuasaan saja, tuan.”
“Dan akibatnya, tuan…” kata-katanya terputus oleh isak tangisnya. Dari sorot matanya aku melihat keharuan yang mendalam. Dia usap airmatanya dengan sapu tangan usang miliknya, lalu meneruskan “Akibatnya, tuan, bencana alam datang silih berganti. Banjir dan tanah longsong menjadi tamu tetap kami. Itu belum seberapa parah, tuan. Yang lebih parah lagi adalah tidak adanya kepedulian akan sesama. Penduduk negeri kami tak pernah peduli bagaimana nasib sekelilingnya. Yang kaya tetaplah menjadi kaya, dan yang miskin hanya menjadi objek pencitraan para pejabat negeri ini, korban bencana pun hanya dijadikan ladang uang para pemburu berita, tuan.”
Seketika itu hatiku menangis. Kulihat Dorsin bercucuran air mata. Jiwanya bergetar hebat. Tatapannya kosong, namun batinnya berteriak-teriak dan suaranya meluncur deras menembus cakrawala. Kedua tangannya terkepal. Ada kemarahan luar biasa yang tersimpan dibalik gerak tubuhnya.
“Apabila tuan-tuan bertanya-tanya mengapa saya tidak bekerja sebagaimana biasanya, tak lain karena pemilik hotel mengetahui bahwa saya punya hati. Dan robot yang mempunyai hati berarti berbahaya. Dan akhirnya saya pun dipecat tanpa pesangon.”
“Mereka tak punyai hati sebab mereka semua robot.”
Keesokan harinya kami memutuskan untuk kembali pulang ke negeri kami. Kembali perjalanan udara yang menjemukan selama 12 jam pun terpaksa harus kami nikmati lagi. Selama perjalanan, lamunanku terus tertuju pada negeri dan pelayan hotel tersebut. Suatu negeri yang dimuliakan Tuhan dengan hasil alam yang melimpah-ruah, namun semua itu tidak mampu membangun negeri tersebut menjadi negeri yang makmur dan maju. Hasil alam negeri hanya bisa dinikmati oleh para penciptanya dan para pejabat tinggi serta oleh para pengusaha negeri itu. Semua kekayaan alam hanya menjadi sumber malapetaka semata bagi penduduknya yang tidak bisa menikmati kemewahan alam. Karena robot memang tidak mempunya hati. Tidak bisa mengolah segala sesuatu menggunakan nurani. Dan segala yang diperbuat oleh robot sejatinya dikendalikan oleh penciptanya.
Belakangan kami mengetahui informasi dari berbagai media massa bahwa hampir sebagian besar penduduk Negeri Pencipta yang mulanya manusia, lama kelamaan berubah menjadi robot…
Sekian


 
© eko | All Rights Reserved
Designed ByEko Laksono | Powered ByBlogger | FCB Blogger Template ByFree Blogger Template