Negeri Para
Robot
“…mereka tak punyai hati
nurani sebab mereka semua robot”
Sudah
kurang-lebih 8 jam lamanya kami berada di atas awan. Di dalam sebuah pesawat
komersil milik perusahaan penerbangan negeri kami. Tujuan kami adalah negeri
yang menurut guru-guru kami, serta dari sumber-sumber lain katakan: “Negeri
yang dimuliakan Tuhan. Negeri yang diciptakan Tuhan dari material pembuat
surga. Negeri yang dahulu menjadi induk peradaban dunia.” Entahlah. Kami merasa
itu sangat berlebihan. Hanya sebuah khayalan belaka. Dan khayalan bagiku tak
ubahnya seperti keyakinan yang semu, aneh, seperti bayangan diri di dalam air
yang sampai mati pun takkan pernah bisa disentuh. Terlebih lagi kami belum tahu
seperti apa negeri tersebut. Kami harus membuktikan nyanyian-nyanyian indah
tentang negeri itu. Maka aku beserta temanku, Dorsin, memutuskan untuk
menghabiskan liburan kami berplesir ke “Negeri yang dimuliakan Tuhan” tersebut.
Akhirnya
setelah 12 jam perjalanan udara, kami tiba juga di negeri tersebut. Tapi aneh,
semua orang disini bukan manusia, melainkan robot. Kami terheran-heran melihat
sekeliling kami. Pakaian yang mereka kenakan sama seperti kami, manusia. Bentuk
tubuhnya pun tak berbeda dengan kami. Mereka punya kepala, kedua belah mata,
telinga, kedua tangan dan kaki dan kesemuanya nyaris tiada beda barang sedikit
pun dengan manusia aslimya. Namun dari ujung kepala sampai ujung kaki mereka
adalah besi baja. “Taksi tuan?” tiba-tiba seorang sopir taksi menawarkan jasa.
Tak berbeda dengan yang lainnya, sopir taksi itu pun sebuah robot. Lalu kami
pun memutuskan untuk menaiki taksi tersebut. “Tujuan kita kemana, tuan?” sopir
taksi itu bertanya. “Antarkan kami ke hotel terdekat, pak.” jawab Dorsin.
Sesampainya
di hotel, kami pun lantas memesan sebuah kamar. Lagi-lagi, penerima tamu hotel
itu pun adalah robot. Begitu pula yang menginap disini pun kesemuanya robot.
Hanya ada satu-dua saja yang bentuknya sama seperti kami, manusia. Kemudian
diantarnya kami menuju kamar yang dipesan. Kamar nomor 226. Sebuah robot
mengantar kami, membukakan pintu kamar, seraya berkata “Jika tuan-tuan butuh
bantuan, jangan sungkan hubungi saya saja, ya. Di atas meja kecil samping sofa
di pojok sana ada sebuah pesawat telephon. Tinggal tuan-tuan pijit tombol merah
yang ada di pesawat telephon itu untuk meminta bantuan saya. Selamat
beristirahat, tuan-tuan”.
Aku
merebahkan diri di atas kasur melepas kelelehan. Tak habis pikirku membayangkan
bagaimana sebuah negeri yang dijuluki “Negeri yang dimuliakan Tuhan” ternyata
semua penduduknya robot. Lantas, bakal jadi seperti apa negeri ini kalau
semuamya diolah tanpa campur tangan hati nurani?
“Kamu lapar, Sin?”
“Teramat sangat. Mari kita pesan makanan.”
“Teramat sangat. Mari kita pesan makanan.”
Ada banyak menu makanan dan minuman disini. Ratusan bahkan ribuan
menu dari hampir semua negara di dunia tersedia. Aku pun sampai-sampai tak
sanggup membaca semua daftar menu yang tertulis di dalam sebuah monitor
berukuran 21 inch yang letaknya tepat di atas lemari pendingin dan menempel
pada dinding kamar. Dorsin lalu menghubungi pelayan yang tadi mengantar kami
menuju kamar melalui telephon. Dia memutuskan untuk memesan Chiffon Mousse
sementara aku berniat memesan menu makanan khas negeri ini. Namun betapa
kagetnya aku mendengar pelayan itu berkata “Menu yang anda pesan tidak tersedia
disini, tuan. Bahkan bukan hanya di hotel kami, di seluruh pelosok negeri pun
sudah tidak dapat dijumpai lagi menu khas negeri kami. Menu-menu makanan
tersebut dianggap kuno. Ketinggalan zaman, Tuan. Bagaimana dengan Borju
Paprika’s? Itu menu andalan disini, tuan.”
Dengan terpaksa aku pun menerima tawaran menu dari pelayan tersebut.
Dengan terpaksa aku pun menerima tawaran menu dari pelayan tersebut.
30 menit
berselang dan pesanan kami pun tiba. Kami menyilakan pelayan tersebut untuk
masuk. Sebelum pelayan itu meminta diri untuk meninggalkan kamar, aku mencoba
untuk bertanya “Mengapa di negeri ini semua penduduknya robot?”. Pelayan itu
hanya tersenyum ramah. Kemudian berlalu tanpa sepatah kata pun keluar dari
mulutnya. “Dasar robot..” geramku.
Hari-hari
kami di negeri ini dihabiskan untuk berkeliling negeri. Melihat kondisi alam
berserta kondisi masyarakatnya. Banyak bangunan-bangunan pencakar langit tinggi
menjulang mencengkeram angkasa. Namun di suatu sudut negeri terlihat
rumah-rumah berbadan triplek kayu berjejer di pinggiran sungai yang tidak bisa
dikatakan bersih. Terkesan kotor. Sangat kotor. Seolah ingin muntah kami
melihatnya. Kami meneruskan perjalanan menuju sebuah perkampungan. Anak-anak
kecil berlarian kesana-kemari. Selokan-selokan pada mampet. Hitam pekat dan
berbau sangat menyengat. Busuk. Benang-benang layangan banyak terlilit pada
kabel-kabel listrik. Beberapa terlihat sedang bermain kartu. Di suatu sudut kampung
sebuah robot tengah tengah sibuk dengan burung piaraannya.
Dari
kejauhan kulihat seseorang tengah duduk di pelataran rumahnya. Aku seperti
mengenal sosok tersebut. Kami pun mencoba mendekati. Dan benar saja dugaanku.
Ialah pelayan hotel tempat kami menginap. “Eh, tuan-tuan. Sedang apa kiranya
disini? Mari masuk. Kita minum teh.” ujarnya menyilakan kami masuk ke dalam
rumahnya yang sangat kecil dan kumuh. Aneh, pikirku. Mana ada robot suka
meminum teh. Robot hanyalah sebuah tumpukan besi yang memerlukan baterai untuk
bergerak. Dan lagi, mengapa robot itu begitu ramah dan baik?
“Silakan duduk, tuan-tuan. Tak usah merasa sungkan. Anggap saja
rumah sendiri. Tetapi, beribu maaf, tuan, beginilah adanya tempat tinggal saya.
Tak punya cukup uang saya untuk membeli hunian yang lebih layak.”
“Kalau boleh saya tahu, ada apa gerangan tuan-tuan ke kampung ini?” tanyanya mencoba memulai obrolan.
“Kalau boleh saya tahu, ada apa gerangan tuan-tuan ke kampung ini?” tanyanya mencoba memulai obrolan.
“Kami
hanya ingin jalan-jalan saja menikmati keindahan negeri ini saja. Banyak yang
bilang negeri ini sangat indah, makanya kami penasaran ingin tahu kebenarannya”
jawabku
“Tidak
ada pemandangan indah yang bisa dinikmati di negeri kami ini, tuan. Semua hanya
kepiluan semata. Robot tidak pernah mengerti arti keindahan. Robot hanya
bertindak dan melakukan sesuatu sesuai keinginan penciptanya saja, tuan.”
“Memang
siapa penciptanya?” tanyaku
“Ada,
tuan. Di suatu tempat nan jauh beribu kilometer disana. “Negeri Pencipta”
namanya. Para penduduknya menyebut negerinya adidaya. Negeri paling superior.
Seluruh dunia diatur oleh negeri itu, tuan.” jawabnya getir
“Lalu,
kenapa anda terlihat berbeda dengan robot-robot yang lain?” tanya Dorsin
berkobar-kobar lantaran rasa penasaran.
“Begini,
tuan. Saya memang diciptakan berbeda dari yang lain karena saya diberi hati
oleh pencipta saya. Pencipta saya sangat sedih melihat kondisi negeri ini. Maka
dibuatkanlah saya ini, tuan. Robot berhati. Raga saya memang robot, tapi jiwa
saya adalah manusia. Sama seperti tuan-tuan”
“Mengapa
hanya anda saja yang diberi hati oleh pencipta anda?” tanyaku bersungguh-sungguh.
“Tujuannya
tak lain agar kelak dunia mengetahui bahwa di negeri ini ada robot yang
mempunya jiwa manusia. Ada jiwa yang peduli arti penting kesadaran akan sesama
makhluk hidup. Baik terhadap alam maupun terhadap masyarakat sekitar.”
Mataku
berkaca-kaca mendengar ceritanya. Batinku teriris. Sedih dan haru bersatu padu
memenuhi sendi-sendi batinku.
“Di
negeri ini, tuan. Semua-muanya dikerjakan atas nama uang. Uang adalah Tuhan
bagi penduduk negeri kami dan negeri pencipta kami, tuan.”
“Lihat saja betapa banyak bangunan-bangunan tinggi menjulang yang
jumlahnya ribuan. Jalanan-jalanan besar dibuat sebagai akses untuk mempermudah
distribusi barang dan jasa. Sekolah-sekolah tinggi didirikan. Hasil alam mereka
keruk tanpa memikirkan akibat dari kerusakannya. Semuanya ditujukan tak lain
hanya untuk kepentingan uang dan kekuasaan saja, tuan.”
“Dan akibatnya, tuan…” kata-katanya terputus oleh isak tangisnya. Dari sorot matanya aku melihat keharuan yang mendalam. Dia usap airmatanya dengan sapu tangan usang miliknya, lalu meneruskan “Akibatnya, tuan, bencana alam datang silih berganti. Banjir dan tanah longsong menjadi tamu tetap kami. Itu belum seberapa parah, tuan. Yang lebih parah lagi adalah tidak adanya kepedulian akan sesama. Penduduk negeri kami tak pernah peduli bagaimana nasib sekelilingnya. Yang kaya tetaplah menjadi kaya, dan yang miskin hanya menjadi objek pencitraan para pejabat negeri ini, korban bencana pun hanya dijadikan ladang uang para pemburu berita, tuan.”
“Dan akibatnya, tuan…” kata-katanya terputus oleh isak tangisnya. Dari sorot matanya aku melihat keharuan yang mendalam. Dia usap airmatanya dengan sapu tangan usang miliknya, lalu meneruskan “Akibatnya, tuan, bencana alam datang silih berganti. Banjir dan tanah longsong menjadi tamu tetap kami. Itu belum seberapa parah, tuan. Yang lebih parah lagi adalah tidak adanya kepedulian akan sesama. Penduduk negeri kami tak pernah peduli bagaimana nasib sekelilingnya. Yang kaya tetaplah menjadi kaya, dan yang miskin hanya menjadi objek pencitraan para pejabat negeri ini, korban bencana pun hanya dijadikan ladang uang para pemburu berita, tuan.”
Seketika
itu hatiku menangis. Kulihat Dorsin bercucuran air mata. Jiwanya bergetar
hebat. Tatapannya kosong, namun batinnya berteriak-teriak dan suaranya meluncur
deras menembus cakrawala. Kedua tangannya terkepal. Ada kemarahan luar biasa
yang tersimpan dibalik gerak tubuhnya.
“Apabila tuan-tuan
bertanya-tanya mengapa saya tidak bekerja sebagaimana biasanya, tak lain karena
pemilik hotel mengetahui bahwa saya punya hati. Dan robot yang mempunyai hati
berarti berbahaya. Dan akhirnya saya pun dipecat tanpa pesangon.”
“Mereka
tak punyai hati sebab mereka semua robot.”
Keesokan
harinya kami memutuskan untuk kembali pulang ke negeri kami. Kembali perjalanan
udara yang menjemukan selama 12 jam pun terpaksa harus kami nikmati lagi.
Selama perjalanan, lamunanku terus tertuju pada negeri dan pelayan hotel
tersebut. Suatu negeri yang dimuliakan Tuhan dengan hasil alam yang
melimpah-ruah, namun semua itu tidak mampu membangun negeri tersebut menjadi
negeri yang makmur dan maju. Hasil alam negeri hanya bisa dinikmati oleh para penciptanya
dan para pejabat tinggi serta oleh para pengusaha negeri itu. Semua kekayaan
alam hanya menjadi sumber malapetaka semata bagi penduduknya yang tidak bisa
menikmati kemewahan alam. Karena robot memang tidak mempunya hati. Tidak bisa
mengolah segala sesuatu menggunakan nurani. Dan segala yang diperbuat oleh
robot sejatinya dikendalikan oleh penciptanya.
Belakangan
kami mengetahui informasi dari berbagai media massa bahwa hampir sebagian besar
penduduk Negeri Pencipta yang mulanya manusia, lama kelamaan berubah menjadi
robot…
Sekian